Sabtu, 28 Maret 2009




Pesta Demokrasi

bukan

“PESTA PETANI”



PESTA AKAN SEGERA TIBA.
Demikianlah sebagian di antara slogan yang sering kita dengar atau kita baca dari media masa. Kemeriahan pun mulai nampak di mana-mana. Di semua kota di Indonesia dan di setiap kecamatannya. Di setiap
Desa, Dusun, di sepanjang tepian jalan, bahkan sampai ke pojok-pojok kampung. Semua telah di hias berwarna-warni sedemikian rupa. Ada bendera, pita, spanduk, poster, foto dan sebagainya. Semuanya telah dipajang, dipamerkan dan dipertontonkan kepada kita seakan-akan PESTA pasti akan segera tiba. Entah berapa juta biaya yang telah dikeluarkan. Mungkin beratus-ratus juta, beribu-ribu juta atau bahkan berjuta-juta juta.
 Memang, bagi kebanyakan petani kecil di pelosok desa, hitungan nominal juta adalah hitungan maksimal yang pernah ada di dalam pikiran mereka. Meraka tidak mengenal milyar apalagi trilyun. Sehingga untuk membayangkan dan menggambarkan berapa besar biaya yang dikeluarkan dalam PESTA yang akan segera tiba itu mereka hanya bisa mengungkapkan dengan kata “beratus-ratus juta”, “beribu-ribu juta” atau bahkan “berjuta-juta juta”. 
Ya. Sebuah angka yang sangat fantastic. Berjuta-juta juta. Lalu pertanyaan lugu yang muncul kemudian adalah “Siapa sebenarnya Juragan atau Saudagar Kaya yang akan punya hajat dengan melaksanakan PESTA semeriah dan dengan biaya yang berjuta-juta juta itu?” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah “Untuk Apa” atau “Untuk siapa” sebenarnya PESTA sedemikian besar dan mewah tersebut?  
 Berdasarkan konsep domokrasi yang dianut oleh bangsa kita, maka sebenarnya pesta demokrasi (pemilu) ini adalah PESTA-nya bangsa Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia. Namun fakta di lapangan menunjukkan kenyataan yang berbeda dari konsep awalnya. Kalau kita mau lebih teliti melihat kondisi atau bertanya kepada petani-petani kecil di pelosok desa, maka mereka sama sekali tidak merasa ikut “berpesta”. Bahkan ternyata mereka juga tidak merasa punya hajat dalam pesta tersebut. 
 Lalu sebenarnya ini PESTA siapa?
 Kebanyakan petani lebih menjawab bahwa ini adalah “PESTA-nya para pejabat, Para Caleg, Para Pengusaha Kaya dan juga Para Investor”. Bagi para pejabat dan Caleg, momen ini akan menjadi penentu bagaimana posisi mereka kelak. Kursi empuk manakah yang bisa mereka duduki. Tentunya kursi empuk yang mampu menghasilkan keuntungan bagi mereka. Sedangkan bagi para Pengusaha dan Investor saat ini sudah mulai disibukkan menata barisan di garis start untuk segera memulai lomba, bersaing dan berebut proyek. Tentunya proyek-proyek basah yang bisa di mark up atau mark down sehingga tujuannya adalah bagaimana mereka mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memikirkan apakah hasil dari proyek tersebut memiliki kualitas dan berdampak positif terhadap masyarakat atau tidak.
 Jadi..?
 Sampai detik ini KTM menganggap bahwa Pesta Demokrasi (pemilu) yang di dengung-dengungkan di pelosok tanah air ini hanyalah PESTA milik sebagian kalangan saja. Bukan pestanya seluruh rakyat Indonesia. Dan yang jelas Pesta Demokrasi saat ini masih belum menjadi Pesta-nya Petani. Karena petani selama ini secara nyata-nyata hanya “DIMANFAATKAN” untuk mendapatkan dukungan suara bagi Partai atau Caleg, tapi sebaliknya ternyata petani tidak pernah mendapatkan MANFAAT yang signifikan dari Pesta Demokrasi ini. Padahal hasil survey menunjukkan bahwa sampai detik ini petani dan sector pertanian masih menjadi mata pencaharian dan sumber kehidupan mayoritas penduduk Indonesia. Seharusnya dengan kondisi yang demikian, petani dan sector pertanian haruslah mendapatkan prioritas dan perhatian yang lebih serius dari Bapak-Ibu Pejabat yang duduk di Legislatif maupun yang duduk di Eksekutif.
*(W-dus ktm).