Sabtu, 28 Maret 2009




Pesta Demokrasi

bukan

“PESTA PETANI”



PESTA AKAN SEGERA TIBA.
Demikianlah sebagian di antara slogan yang sering kita dengar atau kita baca dari media masa. Kemeriahan pun mulai nampak di mana-mana. Di semua kota di Indonesia dan di setiap kecamatannya. Di setiap
Desa, Dusun, di sepanjang tepian jalan, bahkan sampai ke pojok-pojok kampung. Semua telah di hias berwarna-warni sedemikian rupa. Ada bendera, pita, spanduk, poster, foto dan sebagainya. Semuanya telah dipajang, dipamerkan dan dipertontonkan kepada kita seakan-akan PESTA pasti akan segera tiba. Entah berapa juta biaya yang telah dikeluarkan. Mungkin beratus-ratus juta, beribu-ribu juta atau bahkan berjuta-juta juta.
 Memang, bagi kebanyakan petani kecil di pelosok desa, hitungan nominal juta adalah hitungan maksimal yang pernah ada di dalam pikiran mereka. Meraka tidak mengenal milyar apalagi trilyun. Sehingga untuk membayangkan dan menggambarkan berapa besar biaya yang dikeluarkan dalam PESTA yang akan segera tiba itu mereka hanya bisa mengungkapkan dengan kata “beratus-ratus juta”, “beribu-ribu juta” atau bahkan “berjuta-juta juta”. 
Ya. Sebuah angka yang sangat fantastic. Berjuta-juta juta. Lalu pertanyaan lugu yang muncul kemudian adalah “Siapa sebenarnya Juragan atau Saudagar Kaya yang akan punya hajat dengan melaksanakan PESTA semeriah dan dengan biaya yang berjuta-juta juta itu?” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah “Untuk Apa” atau “Untuk siapa” sebenarnya PESTA sedemikian besar dan mewah tersebut?  
 Berdasarkan konsep domokrasi yang dianut oleh bangsa kita, maka sebenarnya pesta demokrasi (pemilu) ini adalah PESTA-nya bangsa Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia. Namun fakta di lapangan menunjukkan kenyataan yang berbeda dari konsep awalnya. Kalau kita mau lebih teliti melihat kondisi atau bertanya kepada petani-petani kecil di pelosok desa, maka mereka sama sekali tidak merasa ikut “berpesta”. Bahkan ternyata mereka juga tidak merasa punya hajat dalam pesta tersebut. 
 Lalu sebenarnya ini PESTA siapa?
 Kebanyakan petani lebih menjawab bahwa ini adalah “PESTA-nya para pejabat, Para Caleg, Para Pengusaha Kaya dan juga Para Investor”. Bagi para pejabat dan Caleg, momen ini akan menjadi penentu bagaimana posisi mereka kelak. Kursi empuk manakah yang bisa mereka duduki. Tentunya kursi empuk yang mampu menghasilkan keuntungan bagi mereka. Sedangkan bagi para Pengusaha dan Investor saat ini sudah mulai disibukkan menata barisan di garis start untuk segera memulai lomba, bersaing dan berebut proyek. Tentunya proyek-proyek basah yang bisa di mark up atau mark down sehingga tujuannya adalah bagaimana mereka mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memikirkan apakah hasil dari proyek tersebut memiliki kualitas dan berdampak positif terhadap masyarakat atau tidak.
 Jadi..?
 Sampai detik ini KTM menganggap bahwa Pesta Demokrasi (pemilu) yang di dengung-dengungkan di pelosok tanah air ini hanyalah PESTA milik sebagian kalangan saja. Bukan pestanya seluruh rakyat Indonesia. Dan yang jelas Pesta Demokrasi saat ini masih belum menjadi Pesta-nya Petani. Karena petani selama ini secara nyata-nyata hanya “DIMANFAATKAN” untuk mendapatkan dukungan suara bagi Partai atau Caleg, tapi sebaliknya ternyata petani tidak pernah mendapatkan MANFAAT yang signifikan dari Pesta Demokrasi ini. Padahal hasil survey menunjukkan bahwa sampai detik ini petani dan sector pertanian masih menjadi mata pencaharian dan sumber kehidupan mayoritas penduduk Indonesia. Seharusnya dengan kondisi yang demikian, petani dan sector pertanian haruslah mendapatkan prioritas dan perhatian yang lebih serius dari Bapak-Ibu Pejabat yang duduk di Legislatif maupun yang duduk di Eksekutif.
*(W-dus ktm).  


Sabtu, 28 Februari 2009

HAMA & PENYAKIT 
TANAMAN BAWANG MERAH



Liriomyza spp.
Kosmopolitan Pengganggu Krisan
Selain merusak penampilan, serangan Liriomyza spp. mengakibatkan berkurangnya area fotosintesis, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terganggu. Hama ini mewabah hampir di seluruh dunia tempat krisan ditanam.  

  
Gejala serangan Liriomyza spp Sungguh mengenaskan bila krisan harus mati dimakan hama sebelum berkembang., karena orang menikmati tanaman ini dari keindahan bentuk dan warna bunganya. Serangan hama sudah menjadi resiko tanaman hias bunga potong ini yang biasanya dibudidayakan di bawah naungan seperti halnya mawar. Berbeda dengan gladiol dan sedap malam yang umum dibudidayakan di lahan terbuka.
Perbedaan lingkungan tanaman mempengaruhi jenis hama yang dominan pada lingkungan tersebut. 
Mempengaruhi pula cara pengendalian hama utamanya. Meskipun ambang kendali hama pada tanaman hias sangat rendah, umumnya petani hanya mengandalkan pada pestisida sistesa yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena tanaman hias-terutama yang bernilai tinggi dan dapat diekspor-, memerlukan perlindungan dari organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang sangat intensif. Apalagi buyer di luar negeri menghendaki produk tanaman hias dengan standar kulitas yang tinggi seperti harus memenuhi kriteria indah, tumbuh sempurna, mulus dan tidak ada gangguan OPT.
Karenanya, pemasyarakatan pengendalian hama terpadu (PHT) kepada petani tanaman hias sangat perlu ditanamkan dalam rangka meningkatkan produksi tanaman hias yang berkelanjutan dan berwawasan agribisnis. Salah satu OPT yang harus diwaspadai adalah lalat pengorok daun yang disebabkan oleh Liriomyza chrysanthemi, L. Huidobrensis, L. Trifolii, (ordo : diptera ; Famili : Agromyzidea)
Laporan serangan lalat pengorok daun pada krisan dari daerah memang belum banyak masuk sampai saat ini. Namun demikian hasil penelitian akibat serangan larva lalat pengorok daun pada tanaman krisan, dapat menimbulkan kehilangan hasil, antara 76-86%. Pada serangan berat tingkat kerusakan bahkan mencapai lebih dari 90%. 
Lalat pengorok daun selain menyerang tanaman hias juga bisa menyerang tanaman sayuran, buah-buahan maupun tumbuhan liar. Jenis tanaman yang diserang meliputi kentang, tomat, seledri, wortel, ketimun, caisin, bit, selada, kacang merah, kubis, cabai, bawang merah, buncis, terung, semangka, bayam liar, dan lain-lain. Bila dilihat dari banyaknya tanaman inang ini memungkinkan daya pencar yang cepat sehingga dapat menimbulkan dampak terhadap tanaman budidaya yang diusahakan oleh petani.
 Lalat pengorok daun dapat diidentifikasi melalui panjang tubuhnya, yakni antara 1,7-2,3 mm. Sebagian besar tubuhnya berwarna hitam mengkilap, kecuali skutelum dan bagian samping toraks serta bagian tengah berwarna kuning. Telurnya berwarna putih benang, berukuran 0,28 mm x 0,15 mm. Larva berwarna putih susu atau putih kekuning-kuningan, dan yang sudah berusia lanjut berukuran ± 3,5 mm. Puparium berwarna kuning keemasan hingga coklat kekuningan berukuran 2,5 mm. Siklus hidup lalat pengorok daun berkisar antara 22-25 hari, dan stadium pupa 9-12 hari. Imago betina mampu hidup selama 6-14 hari, dan imago jantan 3-9 hari. 
Lalat ini bersifat kosmopolitan, artinya tersebar luas di berbagai bagian dunia tempat krisan ditanam. Serangga dewasa adalah sejenis lalat yang menusuk daun yang masih lunak ketika makan ataupun ketika meletakkan telur. Lalat mengorok jaringan di bawah epidermis daun dan membuat saluran-saluran yang tidak beraturan terutama di daerah pinggir daun. Pada saat akan berkempompong larva membuat lubang untuk keluar lalau berkepompong di tanah. 
Gejala serangan lalat pengorok daun terjadi karena lalat ini memakan jaringan daun di bawah epidermis, sehingga terbentuk saluran-saluran bekas korokannya yang berwarna putih dengan diameter 1,5-2,0 mm. Pada serangan berat daun akan tampak putih karena yang tersisa hanya lapisan tipis bagian luar daun saja. Selain merusak penampilan, serangan hama ini dapat mengakibatkan berkurangnya area fotosintesis, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terganggu.
Budidaya tanaman sehat cukup membantu mentoleransi pengaruh kerusakan akibat hama ini teruatama pada fase vegetatif pertmbuhan tanaman. Budidaya secara sehat dapat dilakukan anatara lain dengan sanitasi lingkungan melalui membersihkan gulma, pemupukan berimbang, dan secara kultur teknis yaitu dengan menimbun bagian tanaman yang terserang.
 
Manfaatkan Musuh Alami
PEMANFAATAN musuh alami dapat dilakukan untuk mengendalikan lalat pengorok daun. Parasit yang paling umum dan penting adalah jenis tabuhan yaitu parasit larva Ascecodes sp., Gronotama sp., Hemiptarsemus varicornis, dan Opius sp.
Cara lain pengendalian dapat dilakukan secara fisik yaitu dengan pemasangan kelambu kasa plastik pertanaman. Pemasangan kelambu dilakukan sebelum tanam dan tinggi kelambu disesuaikan dengan kondisi setempat, sehingga aktivitas pemeliharaan tidak terganggu. 
Lalat pengorok daun sangat tertarik oleh warna kuning oleh sebab itu dapat dijerat menggunakan perangkap likat kuning (Yellow sticky trap) berbentuk kartu (berukuran 16 cm x 16 cm). Monitoring populasi hama dengan menggunakan perangkap ini dapat digunakan sebagai tindakan pencegahan ataupun sebagai pedoman saat tepat untuk aplikasi pestisida. 
Bila langkah fisik mekanis belum berhasil, pakailah insektisida yang efektif untuk mengendalikan lalat pengorok daun pada tanaman krisan yang telah terdaftar dan diizinkan Menteri Pertanian. Beberapa insektisida yang telah direkomendasikan antara lain Agrimec 18 EC (bahan aktif abamektin), Mitac 200 EC (bahan aktif amitraz), Rampage 100 EC (bahan aktif klofenapir), dan Trigard 75 WP (bahan aktif siromazin). Waktu aplikasi dan dosis yang digunakan dapat dilihat pada label masing-masing insektisida yang akan digunakan, demikian juga volume larutan yang diperlukan.
Beberapa jenis ekstrak tanaman yang bersifat insektisida juga dilaporkan memperlihatkan efektifitas yang sama dengan beberapa jenis insektisida sintetik. Ekstrak tersebut dinilai aman bagi lingkungan karena senyawa-senyawanya terurai lebih mudah. 
CARA PEMBUATAN PUPUK ORGANIK CAIR

Bahan dan Alat:

  • 1 liter bakteri
  • 5 kg hijau-hijauan/daun-daun segar (bukan sisa dan jangan menggunakan daun dari pohon yang bergetah berbahaya seperti karet, pinus, damar, nimba, dan yang sulit lapuk seperti jato, bambu, dan lain-lainnya)
  • 0,5 kg terasi dicairkan dengan air secukupnya
  • 1 kg gula pasir/merah/tetes tebu (pilih salah satu) dan dicairkan dengan air
  • 30 kg kotoran hewan
  • Air secukupnya
  • Ember/gentong/drum yang dapat ditutup rapat

Cara Pembuatan:

Kotoran hewan dan daun-daun hijau dimasukkan ke dalam ember.
Cairan gula dan terasi dimasukkan ke dalam ember.
Larutkan bakteri ke dalam air dan dimasukkan ke dalam drum, kemudian ditutup rapat.
Setelah 8-10 hari, pembiakan bakteri sudah selesai dan drum sudah dapat dibuka.
Saring dan masukkan ke dalam wadah yang bersih (botol) untuk disimpan/digunakan.
Ampas sisa saringan masih mengandung bakteri, sisakan sekitar 1 sampai 2 liter, tambahkan air, terasi, dan gula dengan perbandingan yang sama. Setelah 8-10 hari kemudian bakteri sudah berkembang biak lagi dan siap digunakan. Demikian seterusnya.

Kegunaan:
Mempercepat pengomposan dari 3-4 bulan menjadi 30-40 hari.
Dapat digunakan langsung sebagai pupuk semprot, apabila tanah sudah diberi kompos (subur), tetapi apabila tanah kurang subur/tandus, penggunaan langsung sebagai pupuk tidak dianjurkan.
Pupuk cair (larutan bakteri) ini tidak diperbolehkan untuk dicampur dengan bakteri lain, terutama bahan kimia atau bahan untuk pestisida lainnya seperti tembakau.


Bercak Ungu atau Trotol 
(Purple Blotch) : Alternaria porri

Morfologi dan daur penyakit

Konidium dan konidiofor berwarna hitam atau coklat. Konidium berbentuk gada yang bersekat-sekat, pada salah satu ujungnya membesar dan tumpul, ujung lainnya menyempit dan agak panjang. Konidium dapat disebarkan oleh angin dan menginfeksi tanaman me¬lalui stomata atau luka-luka yang terjadi pada tanaman. Patogen dapat bertahan dari musim kemusim pada sisa-sisa tanaman.
Keadaan cuaca yang lembab, mendung, hujan rintik-rintik dapat mendorong perkembangan penyakit. Pemupukan dengan dosis N yang tinggi atau tak berimbang, keadaan drainase tanah yang tidak baik, dan suhu antara 30 - 32 °C merupakan kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan patogen.
Penyakit ini tersebar luas di daerah pertanaman bawang di Indonesia antara lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya.

Gejala serangan
Pada daun terdapat bercak melekuk, berwarna putih atau kelabu. Ukuran bercak bervariasi tergantung pada tingkat serangan. Pada serangan lanjut, bercak-bercak tampak menyerupai cincin, warna agak keunguan dengan tepi agak kemerahan atau keunguan yang dikelilingi oleh zone berwarna kuning yang dapat meluas ke bagian atas atau bawah bercak, dan ujung daun mengering. Permukaan bercak bisa juga berwarna coklat atau hitam terutama pada keadaan cuaca yang lembab.
Infeksi pada umbi biasanya dapat terjadi pada saat atau setelah panen, umbi tampak membusuk dan berair dimulai dari bagian le¬her. Umbi yang membusuk berwarna kuning atau merah kecoklatan. Serangan lanjut menyebabkan jaringan umbi yang terserang mengering, berwarna gelap dan bertekstur seperti kertas.


Membuat pupuk 
Effective Microorganisme atau EM

Pupuk EM adalah pupuk organik yang dibuat melalui proses fermentasi menggunakan bakteri (microorganisme). Sampah organik dengan proses EM dapat menjadi pupuk organik yang bermanfaat meningkatkan kualitas tanah. 

Beriikut langkah-langkah pembuatan pupuk menggunakan EM :

Pembuatan bakteri penghancur (EM).

Bahan-bahan :

• Susu sapi atau susu kambing murni. 
• Isi usus (ayam/kambing), yang dibutuhkan adalah bakteri di dalam usus. 
• Seperempat kilogram terasi (terbuat dari kepala/kulit udang, kepala ikan) + 1 kg Gula pasir (perasan tebu) + 1 kg bekatul + 1 buah nanas + 10 liter air bersih.  
Alat-alat yang diperlukan :
Panci, kompor dan blender/parutan untuk menghaluskan nanas.

Cara pembuatan :

• Trasi, gula pasir, bekatul, nanas (yang dihaluskan dengan blender) dimasak agar bakteri lain yang tidak diperlukan mati. 
• Setelah mendidih, hasil adonannya didinginkan. 
• Tambahkan susu, isi usus ayam atau kambing. 
• Ditutup rapat. Setelah 12 jam timbul gelembung-gelembung. 
• Bila sudah siap jadi akan menjadi kental/lengket. 
Perlu diperhatikan susu jangan yang sudah basi karena kemampuan bakteri sudah berkurang. Sedangkan kegunaan nanas adalah untuk menghilangkan bau hasil proses bakteri.

Minggu, 01 Februari 2009

“ PELATIHAN ngGORENG BRAMBANG ”

ALTERNATIF SOLUSI MENGENTAS KETERPURUKAN PETANI          

         Seperti telah kami bahas dalam rubrik sebelumnya bahwa kondisi alam kita yang subur dengan hasil panen melimpah tidak menjamin meningkatnya pendapatan petani. Seperti halnya yang dialami beberapa petani bawang merah di Daerah Pacet Kabupaten Mojokerto. Dengan hasil panen yang melimpah seperti gambar di atas ternyata malah membuat petani ngersulo (sedih) karena produk bawang merah yang melimpah itu ternyata tak laku jual. Atau kalau ada tengkulak yang mau membeli itupun dengan harga yang sangat rendah, tidak sebanding dengan tingginya biaya produksi yang mereka keluarkan.
          Inisiatif kawan-kawan KTM bersama Koppontren Darunnajah untuk memberikan solusi atas permasalahan tersebut telah diwujudkan dengan komitmennya untuk mengupayakan adanya produk olahan pasca panen dengan harapan bisa meningkatkan nilai jual bawang merah. Untuk sementara ini, produk olahan yang kami pilih adalah bawang goreng.
 

         Untuk menjadikan bawang merah menjadi produk olahan bawang goreng ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan. Awalnya kami berfikir proses pengolahan ini cukup sederhana saja. Seperti halnya kalau ibu-ibu biasanya menggoreng bawang merah untuk konsumsi di rumah tangga. Namun untuk skala industri, ternyata membutuhkan penanganan yang lebih khusus alias tidak sekedar asal goreng saja. Tetapi harus dipikirkan pula kualitas produk olahan tersebut agar mempunyai nilai ekonomis dan layak jual.
          Produk bawang goreng yang siap jual harus kelihatan menarik, tidak terlalu gosong ataupun tidak terlalu mentah. Untuk itu diperlukan cara menggoreng dengan trik-trik khusus agar hasilnya bisa memuaskan. Di sisi lain kandungan minyak nya juga harus sangat rendah. Hal ini dimaksudkan agar daya simpannya bisa lebih tahan lama dan tidak tengik. Kerenyahan brambang goreng juga menjadi prioritas yang harus diperhatikan. Mengenai rasa, kita juga harus menambahkan resep khusus agar brambang goreng lebih enak dan diminati konsumen. Misalnya dengan menambahkan garam dengan ukuran yang pas, tidak lebih dan tidak kurang.
Untuk mendapatkan kemampuan dan ketrampilan yang memadai dalam produksi brambang goreng, baru-baru ini Koperasi Pondok Pesantren Darun Najah melaksanakan Pelatihan Goreng Brambang. Hal ini dimaksudkan agar anggota Koppontren dan juga santri-santri Ponpes Darun Najah mempunyai bekal yang cukup untuk mengembangkan usaha Brambang Goreng. Acara Pelatihan yang dibuka secara langsung oleh Bapak Ghozali, Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Mojokerto ini juga menghadirkan nara sumber Pak Pri (Supriyadi) seorang pengusaha Brambang Goreng yang sudah 15 tahun berpengalaman di bidang pengolahan dan penjualan brambang goreng.

Proses Pelatihan
Pelatihan pembuatan Brambang Goreng diawali dengan pemaparan singkat oleh Pak Pri selaku narasumber tentang proses pengolahan bawang merah menjadi produk Brambang Goreng. Dalam sessi ini peserta juga diperbolehkan secara langsung bertanya apabila ada hal-hal yang kurang dimengerti. Pak Pri juga menjelaskan tentang pengalaman beliau sejak dari merintis usaha sampai berhasil melayani kebutuhan pasar di Mojokerto bahkan sampai ke luar daerah. Di samping Pak Pri, proses pelatihan ini juga dipandu oleh Bapak Sucipto alias Pak Cip yang beberapa waktu sebelumnya telah melakukan magang beberapa hari di usaha penggorengan brambang milik Pak Pri.

Setelah sessi pemaparan dan tanya jawab selesai, peserta pelatihan diajak secara langsung mempraktekkan teori yang telah mereka terima sebelumnya. Pada tahap awal peserta diberi penjelasan sekaligus mempraktekkan cara pemilihan bawang merah yang layak untuk dijadikan brambang goreng. Setelah itu bawang merah dikupas dan dicuci hingga bersih. Maksud dari tahapan ini adalah agar hasil brambang goreng nanti terlihat bagus dan bersih. Kalau bawang merah tidak dikupas, maka kulit brambang yang ikut tergoreng akan gosong terlebih dahulu sehingga warna brambang goreng menjadi lebih hitam dan kurang menarik.
Tahap selanjutnya adalah perajangan. Dimana proses perajangan ini dilakukan dengan menggunakan mesin perajang yang dirancang secara khusus. Kalau dilakukan secara manual memang hasilnya lebih bagus. Namun untuk usaha dengan skala yang lebih besar, perajangan secara manual dianggap tidak efektif karena terlalu lama dan membutuhkan sangat banyak tenaga kerja.

Bawang merah yang sudah dirajang, selanjutnya dicampur dengan sedikit tepung beras dengan takaran tertentu yang dimaksudkan untuk menambah kerenyahan brambang goreng ketika sudah masak.

Pada saat penggorengan, yang perlu diperhatikan adalah perbandingan volume minyak goreng dengan jumlah brambang yang akan digoreng. Disamping itu tingkat tingginya suhu minyak goreng dalam wajan (penggorengan) juga perlu diperhatikan. Hal ini dimaksudkan agar kematangan brambang nantinya bisa maksimal namun tidak sampai gosong. Untuk itu perlu pengaturan besar kecilnya api yang digunakan untuk memanaskan wajan.
Bawang goreng yang sudah matang dan diangkat dari wajan harus segera ditiriskan atau diangin-anginkan di sebuah wadah yang luas agar brambang goreng cepat dingin. Bila perlu bisa menggunakan kipas angin. Meskipun sudah diangkat dari wajan, biasanya warna brambang goreng bisa berubah menjadi kehitaman / gosong jika suhunya masih sangat tinggi dan tidak segera dingin. Pada tahapan ini bisa ditambahkan sedikit garam dapur untuk menambah rasa gurih. Selanjutnya untuk mengurangi kandungan minyak dalam brambang goreng bisa dilakukan dengan mesin blower.
Demikian tadi serangkaian proses pelatihan yang telah dilakukan oleh kawan-kawan KTM bersama Koppontren Darun Najah Desa Sajen Pacet Mojokerto. Apa yang telah kami lakukan ini merupakan sebuah langkah awal dari upaya mengentas keterpurukan petani kita sekarang ini. Semoga dengan adanya alternatif-alternatif solusi ini bisa membangkitkan semangat petani untuk tidak hanya sekedar bisa memproduksi / menanam saja tapi juga bisa memasarkan hasil panennya dalam bentuk produk olahan dengan harapan bisa mengangkat nilai jual dan memperbesar keuntungan yang diperoleh petani.*Dur .

Rabu, 21 Januari 2009

Kunjungan Kawan-Kawan Petani dari Wamena ke KTM



“Tak ada nasi, ubi pun jadi”



         Mungkin kata-kata itulah yang tepat untuk menggambarkan keanekaragaman komoditas bahan pangan yang ada di Indonesia. Slogan tentang keanekaragaman bahan pangan sudah sering terdengar di telinga kita. Baik itu melalui program pemerintah ataupun pihak-pihak tertentu yang memang terkait dengan persoalan tersebut. Dari beberapa informasi yang kami dengar, bahwa pemerintah mensosialisasikan program penganekaragaman bahan pangan tersebut adalah untuk mencari solusi akan kebutuhan beras yang semakin tahun semakin meningkat dengan tajam, padahal total produksi padi di tanah air semakin menurun. Hal inilah yang menjadikan salah satu penyebab sampai-sampai pemerintah harus mengambil kebijakan import beras dari luar disamping mungkin ada sebab-sebab lain yang tidak akan kita bahas dalam tulisan ini.           Untuk beberapa wilayah di Indonesia, program semacam ini mungkin menjadi sangat penting untuk terus dikembangkan. Terutama di wilayah Jawa yang mayoritas penduduknya menjadikan beras sebagai bahan baku untuk makanan pokoknya. Apalagi lahan persawahan di Pulau Jawa semakin tahun semakin menyempit seiring dengan peningkatan pembangunan di bidang industri dan perumahan yang seiring juga dengan pesatnya peningkatan jumlah penduduk.
          Namun perlu kita ingat, bahwa program semacam ini ternyata tidak berlaku secara umum untuk seluruh wilayah Indonesia. Salah satu contohnya adalah di daerah Papua. Beberapa masyarakat di daerah Papua tidak menjadikan beras sebagai komoditas bahan pangan utama. Sebut saja masyarakat di Kabupaten Wamena. Sebagian besar masyarakat Wamena menjadikan umbi-umbian (khususnya ubi jalar) sebagai bahan makanan pokoknya. Namun karena minimnya akses informasi yang mereka terima khususnya masyarakat-masyarakat adat yang tinggal di pedalaman, sehingga proses pengolahan ubi menjadi bahan pangan dilakukan dengan sangat sederhana. Menurut informasi yang kami terima, mereka mengolah ubi hanya cukup dengan direbus atau dibakar dalam prosesi bakar batu . Yaitu sebuah prosesi adat yang sudah berlangsung sejak jaman nenek moyang mereka dahulu dan tetap lestari sampai sekarang.

 


Kunjungan (Study Banding)
Kawan-Kawan Petani WAMENA Ke KTM



   Dengan segala kesederhanaan dan minimnya akses informasi yang mereka terima ternyata tidak menyurutkan semangat para petani Wamena untuk terus menuntut ilmu dan mengembangkan teknologi pertanian yang mereka miliki. Bahkan dengan segala keterbatasan tersebut malah membuat mereka lebih bersemangat untuk menambah pengetahuan dan pengalaman walaupun harus menempuh perjalanan jauh sampai ke Pulau Jawa. Hal inilah yang kemarin diwujudkan oleh kawan kawan petani Wamena dengan melakukan study banding ke Kelompok Tani Muda Desa Sajen Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto –Jatim.
          Beberapa petani dari Wamena bersama lembaga pendampingnya, pada tanggal 21 Januari 2009 kemarin telah hadir di sekretariat KTM untuk melakukan sharing pengalaman tentang proses budidaya ubi jalar yang dilanjutkan dengan kunjungan ke lahan untuk melihat dan belajar secara langsung proses budidaya ubi jalar di wilayah Pacet. Selama ini di kawasan Pacet - Kabupaten Mojokerto, ubi jalar memang masih menjadi komoditas andalan. Di samping kondisi tanahnya yang memang cocok untuk tanaman tersebut, cara budidaya ubi jalar juga tergolong tidak terlalu rumit dibanding dengan cara budidaya tanaman yang lainnya apalagi hortikultura. Biaya yang dikeluarkan juga tidak begitu banyak. Sehingga petani Pacet lebih memilih untuk bertanam ubi jalar disamping komoditas utama yang lain yaitu jenis sayur-sayuran.

         Berdasarkan hasil sharing kami dengan petani dari Wamena, ternyata proses budidaya yang dilakukan di Pacet tidak jauh berbeda dengan yang telah di lakukan para petani Wamena. Hanya saja orientasi mereka menanam lebih untuk konsumsi sendiri sebagai bahan makanan pokok. Sedangkan kalau di Pacet atau di jawa pada umumnya, orientasinya lebih kedalam skala bisnis (dijual). Dari orientasi yang berbeda tersebut juga memberikan nuansa yang agak berbeda dalam proses budidayanya. Kalau di Pacet, proses budidaya dilakukan secara lebih intensif. Yaitu dengan menambahkan pupuk pada saat budidayanya. Kemudian panennya pun dilakukan secara serentak saat usianya sudah mencukupi yaitu sekitar 5 bulan. Sedangkan kalau di Wamena, proses budidayanya sedikit lebih sederhana. Mereka biasanya tidak menambahkan pupuk pada tanamannya. System budidayanya juga kebanyakan masih menggunakan system ladang berpindah. Sedangkan proses pemanenannya biasanya tidak dilakukan secara serentak melainkan umbi ubi jalar diambil / dipanen sedikit demi sedikit sesuai kebutuhan makanan sesaat. Yaitu dengan melakukan panen pilih. Umbi yang sudah besar dipanen untuk dimasak (dimakan) hari itu juga sedangkan yang kecil di tutup (ditimbun lagi) dan akan di panen jika sudah besar. Demikian terus menerus sampai akhirnya tanaman ubi jalar tidak produktif lagi. Menurut mereka, proses budidaya ubi jalar semacam ini bisa berlangsung sampai satu tahun.

          Dengan adanya kunjungan dari kawan-kawan petani Wamena tersebut, sedikit banyak telah membuka wawasan bagi kami tentang keanekaragaman yang kita miliki di tanah air tercinta ini. Baik mengenai makanan pokoknya maupun cara budidayanya. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Yang jelas dengan adanya perbedaan tersebut masing-masing diantara kita bisa saling belajar dan saling melengkapi atas kekurangan yang kita miliki.
          Tentunya dalam kesempatan kali ini pula tak lupa kami atas nama seluruh anggota KTM Desa Sajen Kecamatan Pacet mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan petani dari Wamena atas kepercayaan dan kunjungannya kepada kami. Semoga dengan sedikit ilmu dan pengalaman yang telah diperoleh dari kunjungan / study banding ini bisa membawa manfaat bagi kemajuan dan kesuksesan saudara-saudara kami petani di Wamena.


Selamat Berjuang & Semoga Sukses ….!


Senin, 19 Januari 2009

SUBUR TIDAK BERARTI MAKMUR

Indonesia adalah negara yang subur.
Kata-kata itu dulu sering kali terdengar di telinga kita. Apalagi bagi setiap siswa sekolah dasar yang selalu mendapatkan materi pelajaran yang berhubungan dengan kondisi alam Indonesia. Bagaimana dengan kondisi sekarang ?


Ternyata untuk menjawab pertanyaan itu memerlukan penjelasan yang panjang. Kalau dulu, saat kita duduk di bangku SD, kita selalu mendapatkan gambaran dan penjelasan bahwa dengan kondisi alam Indonesia yang subur seakan menjadi kalimat pembenar untuk menyatakan Indonesia “makmur”. Sehingga seringkali kata subur tersebut tidak berdiri sendiri melainkan menjadi kata “subur makmur”.

Kembali pada pertanyaan di atas, tak bisa kita pungkiri seperti halnya yang pernah dilantunkan oleh Koes Ploes tentang perumpamaan untuk menyatakan kondisi kesuburan alam Indonesia bahwa tongkat, kayu dan batu pun bisa jadi tanaman. Demikianlah kiranya kesuburan tanah air kita ini. Tak ada masalah bagi Indonesia untuk sekedar menjadi produsen/penghasil produk-produk pertanian. Hal ini juga yang sering dirasakan petani kita saat ini. Kalau hanya sekedar tehnik atau budidaya tanaman, mereka tidak pernah mendapatkan permasalahan yang berarti. Disamping kondisi tanahnya yang subur, petani Indonesia telah memiliki sejarah dan pengalaman bertani yang cukup baik. Bahkan kalau memang kita benar-benar mau, kiranya bukan masalah yang sulit untuk mewujudkan swasembada pangan di Indonesia atau bahkan mewujudkan kata-kata “makmur” itu sendiri. Tapi mengapa saat ini negara kita jauh dari kata-kata itu?

Selanjutnya, dalam tulisan ini nanti kita tidak akan membahas tentang swasembada pangan atau tentang kesuburan tanah Indonesia. Namun tulisan ini akan mengajak kita berfikir tentang permasalahan besar yang seringkali dialami oleh petani-petani kita khususnya petani-petani kecil dipedesaan berikut alternatif-alternatif solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut seperti halnya yang telah diupayakan oleh teman-teman Petani Muda di Desa Sajen Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto bersama Koperasi Pondok Pesantren Darun Najah.
Seperti kita ketahui bersama bahwa Pacet merupakan salah satu kawasan di Kabupaten Mojokerto yang menjadi sentra produksi Pertanian. Bahkan untuk wilayah Jawa Timur, Pacet juga dikenal sebagai salah satu sentra produksi hortikultura khususnya komoditas bawang merah. Namun keberhasilan budidaya bawang merah ini ternyata tidak banyak diikuti oleh keberhasilan peningkatan pendapatan petani bawang merah. Hal inilah yang seringkali dialami petani di kawasan ini dan mungkin juga di daerah lain. Ternyata pokok permasalahannya bukan pada tehnik budidaya atau proses produksi melainkan lebih pada sektor pasar dan harga atau pasca panen. Bisa kita bayangkan, dengan kondisi tanah dan alam yang sangat mendukung maka petani Pacet sangat tertarik untuk senantiasa membudidayakan bawang merah. Namun masalah akan di saat panen melimpah namun tidak diimbangi dengan harga pasar yang memadai. Maka bisa dipastikan petani akan mengalami kerugian yang cukup besar. Apalagi saat ini biaya produksi sangat membumbung tinggi.

Hal inilah yang kiranya menjadi permasalahan klasik yang selalu terulang dan menghantui sebagian besar petani kita, apalagi petani hartikultura. Seperti kita ketahui karakteristik produk hortikultura, khususnya jenis sayur-sayuran adalah mudah rusak (busuk) sehingga tidak bisa di simpan dalam waktu yang relatif lama. Sehingga pilihan yang diambil petani biasanya adalah langsung menjualnya. Bahkan seringkali langsung dijual di sawah. Kalau harga jualnya bagus, mungkin petani bisa bernafas lega. Tapi kalau harganya anjlok bagaimana? Inilah yang perlu mendapat perhatian kita bersama.

KTM & KOPPONTREN
Memberi Alternatif Solusi Untuk Mengentas Keterpurukan Petani

Mungkin ada beberapa alternatif yang bisa kita ambil untuk mengatasi permasalahan tersebut. Untuk memulainya sebenarnya kita tidak perlu berpikir yang muluk-muluk. Kita hanya perlu memikirkan hal-hal sederhana yang kita sendiri yakin untuk bisa merealisasikan ide-ide kita itu. Yang penting kita benar-benar punya kemauan dan usaha keras untuk mewujudkannya.
Contoh seperti yang ditempuh teman-teman KTM bersama Koppontren Darun Najah. Mereka mulai berfikir tentang pengolahan pasca panen bawang merah. Dasar pemikiran pertama ialah bagaimana bawang merah yang meraka panen ini bisa tahan disimpan dalam kurun waktu yang lebih lama. Sehingga mereka memutuskan untuk menyimpan bawang merah tersebut dalam bentuk bawang goreng. Disamping daya simpannya relatif lebih lama, diharapkan nilai jualnya pun bisa lebih tinggi. Manfaat lainnya adalah kita bisa menyerap tenaga kerja lokal khususnya pemuda-pemuda desa untuk bisa lebih berkarya di sela-sela kesibukannya sebagai petani.
Hal ini menjadi sangat mungkin dan lebih mudah untuk mewujudkannya karena di Desa Sajen Kecamatan Pacet telah berdiri Koperasi milik Pondok Pesantren Darun Najah. Dimana antara KTM dengan Koppontren ini seakan sudah menjadi satu tubuh karena 90 % anggota KTM adalah santri dan juga alumni dari Pondok Pesantren Darun Najah yang otomatis juga sebagai anggota Koperasi Pondok Pesantren tersebut. Bahkan Koordinator CTC-KTM Sajen juga menjabat sebagai Sekretaris di Koppontren Darun Najah.

Ketika produk bawang merah dari petani dikelola oleh Koperasi untuk dijadikan bawang goreng, maka sambil menunggu hasil penjualan (pemasaran) bawang goreng tersebut petani diberi kemudahan untuk mendapatkan bantuan (pinjaman) modal dari Koperasi dalam bentuk saprodi tani (pupuk, bibit dan obat-obatan pertanian). Sehingga petani tidak kebingungan untuk se-segera mungkin menjual bawang merah langsung dari sawah kepada tengkulak seperti yang selama ini sering dilakukan oleh petani.

Namun bukan berarti semua upaya ini lepas dari kendala dan hambatan. Sebagai Kopperasi yang baru mulai merintis usaha Bawang goreng belum genap satu tahun ini, tentunya masih banyak sekali hal-hal yang perlu dibenahi dan dikembangkan. Salah satu diantaranya adalah belum adanya konsumen tetap dengan skala besar yang menampung produk bawang goreng ini. Selama 6 bulan ini masih dalam masa survey pasar dan penjajakan. Disamping mencari kontak-kontak untuk mengembangkan jaringan pasar, selama ini pemasaran masih dilakukan ke konsumen-konsumen lokal diantaranya ke kios-kios, pasar tradisional dan beberapa rumah makan di sekitar Mojokerto. Ke depan kami berharap terbentuk jaringan pemasaran yang kuat dan mendapatkan konsumen yang mampu menampung produk bawang goreng kami dalam skala besar. *Mat.